Pendekatan Objektif Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis
Cerpen Tuhan,
Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis adalah cerita pendek karya AS
Laksana yang terhimpun dalam buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 Anugerah
Sastra Pena Kencana terbitan Gramedia Pustaka Utama. Cerpen ini bercorak
komedi gelap yang dirajut lewat tingkah konyol dan tolol tokoh utama cerita ini,
yaitu Alit, dalam perjalanan hidupnya. Cerpen ini menunjukkan khas tulisan AS
Laksana yang bisa dideskripsikan konyol, gelap, dan kontemplatif; seperti pada
cerpen Menggambar Ayah, misalnya. Dalam Menggambar Ayah, AS
Laksana menggambarkan isu kehamilan di luar nikah yang tabu dari sudut pandang
anak. Bagaimana janin dalam rahim merespons upaya pengguguran, kekerasan dalam
rumah tangga setelah lahir, dan pencarian jati diri yang luar biasa pelik
diceritakan dalam gambaran yang konyol, gelap, dan kontemplatif, nyaris seperti
cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis. Namun pada
cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis, AS Laksana
memperluas isu yang dibahas. Jika pada Menggambar Ayah isu yang diangkat
adalah soal relasi manusia dengan manusia di sekitarnya, cerpen ini berbeda. Tuhan,
Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis membahas relasi manusia dengan
takdirnya. Lebih jauh lagi, manusia dengan Tuhan.
Dikisahkan dalam
cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis, Alit adalah
seorang pria muda yang kikuk dalam percintaan, juga dalam kehidupan.
Percintaannya runyam, hidupnya labil dan sengsara. Ia jatuh cinta dengan
seorang gadis cantik yang muncul di tengah-tengah kerumunan pertunjukan
sulapnya. Namun gadis itu masih muda, tiga belas tahun usianya, dan di kemudaan
itu mampu meruntuhkan fokus Alit di penampilan sulapnya. Dari sana, tanpa dasar
yang baik, Alit mengira bahwa ia bukan pesulap yang berbakat. Lantas ia
menjalani profesi lain, yaitu pawang hujan.
Pekerjaan itu ia
jalani lewat berguru pada salah seorang pawang hujan lain, yang kemudian
membawanya pada pekerjaan paling berat baginya: memawangi hujan di pernikahan
gadis muda yang dicintainya dulu dengan seorang duda tua. Hatinya sakit dan
hancur. Ia merasa Tuhan memberinya bakat yang keliru dan tidak berguna karena
tidak menarik keterpesonaan pujaan hatinya kepada dirinya. Lalu ia memutuskan
untuk bertarung dengan Tuhan di wilayah yang ia rasa Tuhan paling berkuasa:
kematian. Percobaan bunuh diri pertamanya gagal karena dihalangi utusan Tuhan,
yaitu seorang pengemis. Alit menilai ini adalah pertarungan yang remis karena
ia tidak mati dan “Tuhan bertindak curang dengan cara mengirimkan malaikat
berupa pengemis untuk menggagalkan upayanya”. Setelah pertarungan yang remis
itu, Alit merencanakan pertarungan lain dengan mengalahkan Tuhan yang pernah
menurunkan hujan selama 40 hari. Dengan bakatnya, ia yakin mampu menurunkan
hujan selama 41 hari. Namun setelah ia merapalkan mantra pawangnya di tengah
malam, ia tidak ditemukan di mana pun.
Relasi manusia
dengan Tuhan adalah hubungan paling purba dan primordial dalam sejarah. Sejak
awal diciptakan hingga sekarang, sepanjang masa itu, manusia selalu
merenung-renungkan hal ihwal penciptaan, asal muasal dirinya, fenomena-fenomena
hidupnya, dan kematiannya. Sejak permenungan dimulai juga, belum ada jawaban
yang benar-benar bisa diyakini manusia sepenuhnya, selalu saja diragukan
olehnya. AS Laksana mengurai realitas itu dalam cerita pendek ini. Tokoh utama,
Alit, mempertanyakan takdir yang dibebankan Tuhan kepadanya: bakatnya yang
tidak berguna, percintaannya yang buruk, dan takdir.
Perangkap Hidup dan Pemberontakan
Alit
Alit adalah ikon
pembebasan, ikon pemberontakan. Bisa dikatakan, Alit adalah kebebasan itu
sendiri, yang AS Laksana upayakan dalam ceritanya. Kisah ini menunjukkan paket
komplet tentang apa yang Scheler uraikan tentang manusia dalam kajian
filsafatnya. Manusia, bagi Scheler, terbagi menjadi dua anthropinum.
Pertama, manusia mempunyai kemampuan untuk tidak hanya hidup di dunia, melainkan
juga selalu punya usaha untuk mengubah realitas. Kecenderungan tersebut disebut
juga sebagai “terbuka terhadap dunia” (being open to the world). Hal ini
menjelaskan mengapa manusia mampu mempertanyakan sesuatu, ketimbang binatang
lain. Bukan hanya mempertanyakan, lebih jauh, manusia bahkan juga berani
mengubah realitas yang dipertanyakannya, atau memiliki keleluasaan atas
realitasnya, tentu dengan keterbatasan yang dimilikinya. Dalam Sein und Zeit
oleh Heidegger, hal ini disebut juga sebagai faktisitas atau ada-di-dalam-dunia
(in-det-Welt-sein); manusia berada-di-dunia dan terbuka terhadap
keberadaannya itu yang tidak terpisah atas realitas atau konteks yang
melingkupi keberadaannya. Kedua, manusia mempunyai kesadaran-diri (self-conscious).
Berangkat dari kesadaran-diri, manusia menjadi mampu mengerti aspek fisik
maupun psikis dari dirinya, dan hal itu merupakan syarat utama bagi
kebebasannya. AS Laksana, secara sadar atau tidak, mengembangkan pemikiran
Scheler dalam kisah ini dan mendayakan Alit sebagai ikon.
Perjalanan hidup
Alit hingga hilangnya di hulu sungai adalah pergulatan Alit dengan
perangkap-perangkap yang disediakan dalam hidup untuknya. Perangkap ini
mendorong Alit sebagai manusia untuk membebaskan diri, untuk memberontak.
Perangkap pertama, ia temukan dalam bakatnya. Ia punya kecenderungan minat pada
dunia sulap-menyulap. Namun, pada tahap tertentu, ia merasa gagal. Ia merasa
tidak cukup kompeten sebagai pesulap, maka ia membebaskan diri, dan berkehendak
menggali ‘bakat’-nya. Dunia trik sulap yang butuh kecekatan dan kecepatan tidak
cocok untuknya, yang ia rasa tidak baik dalam menjaga fokus dan ketenangan.
Berikut kutipan saat Alit meragukan dirinya:
“Berkat kehadiran gadis itu, Alit mulai sadar bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki bakat menjadi tukang sulap. Alasannya sepele,
seorang tukang sulap berbakat mestinya tidak akan bertingkah kikuk ketika
menyadari ada gadis cantik sedikit kusam di tengah orang-orang yang menonton
atraksinya.” (hlm. 9)
Perangkap
kedua adalah percintaan. Seperti yang telah dituliskan di muka, Alit mencintai
seorang gadis muda berumur tiga belas tahun. Gadis itu sangat cantik untuk
seumurannya yang tigabelas, meskipun kusam, rambutnya ‘awut-awutan’, dan
pakaiannya lapuk dan berwarna pudar. Namun, Alit tidak mengungkapkan cintanya
kepada gadis itu, bahkan hingga pujaannya menikah dengan seorang duda (atau
bandot) tua. Pernikahan pujaannya menimbulkan kesedihan yang besar dan mendalam
untuknya. Ia mempertanyakan keadilan Tuhan dan menyadarkan kedudukan keberadaannya
yang di bawah secara hierarkis dengan Tuhan. Dia mengatakan Tuhan telah
memberinya bakat yang tidak berguna (memawangi hujan) karena tidak mampu
menarik keterpesonaan pujaan hatinya. Setelah memahami kedudukannya,
berhubungan dengan perangkap selanjutnya, Alit berusaha memanipulasi realitas
yang ia miliki: menantang Tuhan dalam pertarungan.
“SUNGGUH Tuhan telah memberinya bakat yang tidak berguna,
bakat yang tak mampu menarik hati gadis pujaannya, bakat yang tak mampu
menyelamatkan gadis itu dari pesona si bandot. Sungguh Tuhan telah membuat
keputusan yang keliru karena menjodohkan gadis pujaannya dengan bandot itu.
Maka, tak ada jalan lain, Tuhan dan keputusan-Nya yang keliru harus dilawan.”
(hlm. 14).
Percintaan membawanya dari satu perangkap ke perangkap
lain. Perangkap ketiga adalah takdir. Alit menentang takdir, atau pada wacana
yang lebih luas: kekuasaan Tuhan. Alit secara tidak langsung merasa Tuhan
adalah penguasa yang semena-mena, despotik. Atas kekuasaan mutlak itu, ia
meragukan Tuhan. Ia menantang Tuhan dalam pertarungan. Pertarungan pertama ia
putuskan sendiri tentang kematian, persoalan di mana Tuhan “merasa paling
berkuasa”. Namun, pertarungan berakhir seri (ia tidak mati dan Tuhan gagal
mencabut nyawanya), karena Tuhan mengirimkan malaikat berupa pengemis yang
menyelamatkan hidup Alit. Pertarungan kedua ia putuskan untuk mengalahkan Tuhan
dalam tanding menurunkan hujan. Tuhan pernah menurunkan hujan selama 40 hari
hingga gunung-gunung tergenang air hujan. Untuk melawannya, Alit akan
menurunkan hujan selama 41 hari. Sebagai pawang hujan yang andal, ia merasa
cukup berkemampuan. Namun, kesempatan itu gagal juga diraihnya karena ia
menghilang di hulu sungai.
Mencintai Kehidupan
Pemberontakan-pemberontakan Alit dari perangkap hidupnya,
menilik pemikiran Scheler, membuktikan (atau menyempurnakan?) dirinya sebagai
manusia. Berdasarkan anthropinum pertama, Alit membuka dirinya atas dunia
dengan mengubah realitas yang melingkupi keberadaannya, pada umumnya dalam
horizon kehendak bebas manusia. Ia memberontak atas pelabelan atas dirinya soal
bakat, percintaan, bahkan takdir. Ia memilih apa yang dia inginkan, dan bukan
apa yang terikat kepadanya berdasarkan konteks geografis, sosial, maupun
politik, atau juga filosofis. Ia menentukan apa yang menurutnya baik bagi
dirinya, meskipun menyakitkan dan bukan jalan yang mudah ditempuh. Pada anthropinum
kedua, Alit juga membuktikan kesadarannya atas aspek fisik dan psikis yang
dimilikinya.
AS Laksana menunjukkan Alit bergerak dan memberontak atas
pemahaman kebutuhan miliknya. Alit mencintai kehidupan, mencintai kemanusiaan,
dan dengan begitu ia memperjuangkannya. Namun, cinta tidak selalu menyenangkan.
Cinta Alit terhadap kehidupan dengan komedik ditunjukkan AS Laksana sebagai
cinta yang salah, yang toksik. Cerpen ini mengkritik kebebasan manusia dan
kejumawaannya. Pada satu sisi, AS Laksana menunjukkan, kebebasan manusia tidak
sebaiknya dikultuskan, sebab pengultusan membawa seseorang pada fanatisme, dan
fanatisme tidak memberikan apapun kecuali keburukan. Fanatisme terhadap
kebebasan manusia merusak banyak hal: bisa orang lain, lingkungan, atau bahkan
diri sendiri. Pada sisi lain, demonisasi Tuhan adalah hal yang juga tidak baik.
Permenungan dan penafsiran Tuhan memang hal yang personal. Akan tetapi,
dampaknya tidak, atau berlaku komunal. Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya
pada buku berjudul Menggugat Tanggung Jawab Agama-agama Abrahamik bagi
Perdamaian Dunia, ia menjelaskan bahwa pertanggungjawaban agama atau
ritual-ritual keagamaan atau penafsiran manusia atas Tuhan itu terbagi dua, dan
harus terisi secara bersamaan, yaitu pertanggungjawaban teologis (teodise) dan
kemanusiaan. Perbuatan Alit bahkan tidak menunjukkan salah satu di antara
keduanya. Ini merupakan kesalahan besar, dan hal itu berujung tidak baik pada
akhir cerita. AS Laksana membungkusnya lewat kekonyolan Alit, dan lewat
kekonyolan itulah merupakan cara terbaik menyampaikan pesan-pesan. Alit adalah
ikon yang tepat atas pembebasan dan pemberontakan semena-mena manusia, juga
atas kekuasaan manusia yang semu. Di tempat mana pun di dunia, bahkan pada
zaman sejak ia pertama diciptakan, manusia tidak memiliki kekuasaan atau hal
apapun, kecuali ketidakberdayaan yang mutlak di hadapan Tuhan.
Hasil
analisis cerpen “Tuhan,
Pawang Hujan, dan
Pertarungan yang Remis”
karya A.S. Laksana yaitu terdapat lima
tokoh, yaitu (1)
Alit sebagai tokoh
utama dan tokoh antagonis, (2) Gadis cantik sebagai tokoh sederhana, (3)
Pawang Tua sebagai tokoh
tambahan, (4) Tuhan
sebagai tokoh statis,
dan (5) Duda
tua sebagai tokoh statis. Latar
yang digunakan dalam cerpen “Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan
yang Remis” karya
A.S. Laksana tidak
mengacu pada suatu
daerah tertentu tetapi meliputi tiga unsur latar, yaitu: latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial. Alur
yang digunakan ialah
alur maju karena
jalan peristiwa dalam
cerita secara kronologis maju, runtut dari awal, tengah, hingga akhir.
Tema yang terkandung dalam cerpen
adalah pertarungan yang
remis. Amanat yang
disampaikan adalah jangan dengan mudah mengambil keputusan demi
keputusan terhadap jalan hidup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia
sehari-hari. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama
“aku”, yaitu dalam pengisahan cerita
pengarang sebagai pelaku
cerita. Hubungan antarunsur
intrinsik saling mendukung,
karena masing-masing unsur
tersebut tidak dapat
berdiri sendiri. Kehadiran
berbagai unsur intrinsik
dalam karya sastra
dimaksudkan untuk membangun sebuah cerita.
Komentar
Posting Komentar