Kritik Mimetik Berjudul "Pemberontakan dari Suatu Malam Suatu Warung:"
Seni, seperti pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang
pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari. Keduanya,
seni dan pemberontakan, bukan hal yang mudah dipisahkan (atau dibedakan) karena
setiap tindakan kreatif merupakan juga bentuk pemberontakan; setiap tindak
pemberontakan terdapat usaha-usaha kreatif. Keduanya adalah usaha membebaskan
diri dari batas tatanan yang ada, status quo, dan mencari alternatif
yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan. Seni adalah pemberontakan, setiap seniman
memberontak; atas dirinya, orang lain, masyarakatnya, maupun makna yang
mengikatnya. Begitu pula yang terjadi dengan Sutardji Calzoum Bachri. Sutardji
memberontak lewat kredo puitiknya, terhadap makna yang membelenggu kata, dan
membebaskannya dalam mantra-mantra. Namun, pada artikel ini, penulis tidak
ingin membahas Sutardji dan kredo puitiknya, yang sudah terlalu sering dibahas;
bahkan setelah ‘terkalahkan’ oleh kredo milik Afrizal Malna pada 2018 dalam Berlin
Proposal. Artikel ini akan membahas Sutardji dan cerita pendeknya, Suatu
Malam Suatu Warung, yang memberontak. Bukan memberontak dalam arti semacam
kredo puitiknya, melainkan dalam bagaimana Sutardji melihat realitas sosial.
Tahun 1968 adalah tahun yang runyam dan mencekam. Kondisi
Indonesia begitu rapuh karena tragedi enamlima. Kekuasaan dan kekerasan punya
makna yang sulit terpisahkan, kabur dan termanipulasi. Suatu Malam Suatu
Warung adalah cerita yang menyegarkan, layaknya oase, di masa itu; sebagai
realitas sosial (dan politik) yang ditangkap Sutardji, tentunya dalam
perspektif atau cakupannya sebagai sastrawan, juga sebagai kelas bawah.
Dikisahkan dalam Suatu Malam Suatu Warung, duduk
di depan warung tiga orang lelaki dan seorang pelacur tua; kelak juga muncul si
pemilik warung di tengah cerita. Mula-mula Nahar, salah seorang dari ketiga
pemuda, bercerita pada dua kawannya tentang kekhawatirannya atas daya
kreatifnya yang menyusut, juga produktivitas karya sastranya yang bisa dibilang
buruk. Kejadian-kejadian setelahnya, kurang-lebih, kalau boleh penulis
menyimpulkan, adalah kejadian yang mendukung kekhawatiran Nahar, seorang
sastrawan kurang bermutu. Ia tidak lebih takut kepada sifilis atau gonorrhea
ketimbang menyusutnya daya kreatifnya, misalnya, dengan berani mengajak pelacur
tua berhubungan seks; atau juga deskripsi penderitaan pemilik warung atas
penyakit-penyakit kelamin yang pernah dideritanya, yang kembali menekankan betapa
tebalnya kekukuhan pikiran seorang Nahar. Nahar adalah upaya Sutardji
menciptakan tokoh fiksional sastrawan yang persis pada masa itu, yang berjuang,
yang memberontak, yang berkarya, tanpa basis ekonomi maupun intelektual
memadai. Maka jadilah seperti Nahar, yang hanya membeli penganan di warung saja
minta dibayari Rahman.
Sutardji memandang realitas sosial-politik pada masa itu
yang bergejolak sedemikian ganas dengan ‘biasa-biasa saja’. Seringkali
dipandang politik adalah permainan elit-elitnya ‘di atas sana’. Rakyat hanya
menonton mereka berargumen, berintrik, mengkudeta dan membagi-bagikan sembako,
atau berkampanye, atau ngobrol dengan kaum miskin. Sutardji memandang
berlainan. Ia memasang posisi pada rakyat miskin. Pada masa-masa krisis politik
itu, Sutardji tidak membahas soal-soal besar, tetapi soal-soal kecil saja, soal
turunan dari konflik-konflik besar: soal perut. Sementara elit politik beserta
militer mengkudeta tahun 1965, dan beberapa tahun setelahnya masih meredakan
situasi politik, Sutardji hanya berbicara soal hal mendasar, yaitu kelaparan.
Hanya kelaparan dan hanya kelaparan. Nahar dalam cerita pendek itu adalah tokoh
yang diajukan Sutardji sebagai ikon pembebasan rakyat kecil (wong cilik)
atas hegemoni elit politik yang, secara tidak langsung maupun langsung,
menindas dan mengerdilkan mereka yang sudah kerdil, padahal seharusnya lebih
besar dari siapapun penjabat dalam konstitusi. Realitas dalam mata Nahar adalah
di mana politik seharusnya atau sebenarnya adalah pembebasan, adalah
keharusan memandang rakyat sebagai komponen utama dan terkuat dalam demokrasi,
bukan mengekangnya dalam pengerdilan yang dikhususkan, utamanya, pada hak-hak
sebagai warga negara, sebagai manusia.
Pada masa itu juga, menilik latar dalam cerita, tidak
direpresentasikan Sutardji dengan kentalnya tekanan politik. Warung hanya
digambarkan muram. Namun, dalam kemuraman itu, dan malam larut yang tidak
begitu bercahaya karena bulan hanya setengah, kehangatan percakapan antar teman
masih dilanjutkan, ditambah kopi dan penganan, juga pelacur tua yang siap sedia
diajak ‘main’. Kalau penulis boleh menafsirkan, ini adalah upaya Sutardji
menggambarkan kenyataan kondisi negara pada masa itu. Meskipun muram, mencekam,
dan menyedihkan, hidup terus berlanjut; bersosialisasi, makan, minum, seks,
bekerja, dan lain sebagainya. Konflik dan krisis politik memang berpengaruh
besar pada pola hidup masyarakat. Akan tetapi, pada soal mendasarnya, tidak
begitu terpengaruh. Rakyat kecil adalah komponen terkuat dalam negara
demokrasi.
Komentar
Posting Komentar